Indonesia dan Kanada berkepentingan mempertahankan pluralisme kultural dan agama di negeri masing-masing. Kedua pemerintah pun menghadapi tantangan yang serupa dalam menjamin kebebasan beragama di ruang publik sekaligus menolak intoleransi.
Isu itu dikemukakan wakil pemerintah Indonesia dan Kanada saat membuka diskusi internasional mengenai Agama di Ruang Publik di Asia Tenggara hari ini. Diskusi itu menghadirkan kalangan cendekiawan dari Indonesia, Kanada, Singapura, Malaysia, dan Filipina.
Wakil Menteri Agama RI, Profesor Nasaruddin Umar, mengatakan bahwa sejak dekade 1980an dan 1990an Indonesia telah dipandang sebagai model dalam mengatur keberagaman dalam beragama dan juga menjadi contoh multikulturalisme. "Namun, di tengah transisi menuju demokrasi, Indonesia juga dipandang sebagai contoh nyata bagi negara multikultur yang mengalami gejolak-gejolak sosial dan politik yang terkait dengan agama," kaya Nasaruddin.
Namun, dia mengingatkan bahwa negara-negara lain pun mengalami permasalahan yang serupa. Nasaruddin lalu mengutip pidato Perdana Menteri David Cameron saat menanggapi kerusuhan etnis di Inggris pada 2011. Memerintah negara maju seperti Inggris, PM Cameron pun mengaku tidak mudah dalam menerapkan multikuluralisme di tengah masyarakat yang berbeda budaya dan agama.
Kendati terus berjuang keras dalam menegakkan semangat pluralisme kultural dan agama, Nasaruddin mengingatkan bahwa Pemerintah Indonesia sejak merdeka berhasil menerapkan keseimbangan dan menjaga bahwa sendi-sendi politik dan kekuasaan tidak didominasi oleh budaya atau agama tertentu melalui penegakan prinsip Bhineka Tunggal Ika.
Selain itu, menurut Nasaruddin, pemerintah Indonesia selama ini telah menjamin perlindungan atas kelompok-kelompok minoritas seperti umat Kristen, Budha, Hindu, dan lain-lain. "Ini sekaligus menutup upaya mereduksi prinsip multi-reliji di Indonesia dengan hanya menjadi Negara Islam atau Muslim Indonesia, seperti yang menjadi pilihan banyak negara di dunia modern sebagai negara netral dalam bentuk identitas relijius," kata Nasaruddin.
Sementara itu, Duta Besar Kanada untuk Indonesia, Mackenzie Clugston, mengungkapkan bahwa negaranya juga memiliki kompleksitas yang sama atas keberagaman budaya, etnik, dan agama. "Namun kompleksitas itu mendatangkan peluang, yaitu peluang untuk belajar dan memperdalam pemahaman atas satu sama lain dan menjadi model bagi pihak-pihak lain di dunia," kata Clugston.
Menurut dia, pada nyatanya tidak satu negara pun yang sepenuhnya bebas dari intoleransi relijius. Maka, perlu ada tanggungjawab bersama antara pemerintah dan masyarakat untuk menjamin bahwa intoleransi relijius harus ditolak secara tegas.
"Memperjuangkan kebebasan beragaman merupakan prioritas Pemerintah Kanada. Pembentukan Kantor Kebebasan Beragama, seperti yang diumumkan pada Juni 2011, merupakan bukti akan komitmen Kanada bagi promosi dan perlindungan HAM," kata Clugston.
Senjata Terkuat
Rektor UIN Syarif Hidayatullah, Komaruddin Hidayat, menilai bahwa agama bisa sangat subyektif bagi kebanyakan orang. "Oleh karena itu, kami ingin membangun kembali paradigma baru supaya agama bisa dipandang dari kacamata rasional obyektif," ujarnya. Di Barat, ujarnya, agama-agama dikenalkan dengan pendekatan yang rasional sehingga bisa lebih diterima.
Agama, merupakan Komaruddin, merupakan senjata terkuat yang dimiliki manusia, namun adanya intoleransi dapat meredupkan eksistensi agama sebagai salah satu pilar penting dalam masyarakat. Oleh karena itu, dialog antarkeyakinan seharusnya diselenggarakan lebih sering untuk menjembatani perbedaan yang ada sehingga muncul produk penalaran nasional.
• VIVAnews