Pemain Teater Indonesia Kita mementaskan cerita berjudul Nyonya - Nyonya Istana di Graha Bhakti Budaya, Taman Ismail Marzuki, Jakarta, kemarin. Pementasan yang disutradarai oleh Hanung Bramantyo ini mengangkat tema perempuan-perempuan yang begitu menentukan dalam penyelenggaraan pemerintahan. Lakon ini dikemas dengan gaya Stamboel humor dengan memadukan fragmen komedi, tari dan musik disco serta dangdut. Rangkaian pergelaran Indonesia Kita yang digagas Butet Kartaredjasa tahun ini ditutup dengan gaya humor. Pertunjukan Nyonya-Nyonya Istana terasa kritis sekaligus ada banyak selipan parodi yang menghibur. Istri-istri kabinet Indonesia jilid terakhir asyik merumpi dalam sebuah ruang yang didesain seperti kafe.Ada botol minuman dan sofa-sofa empuk. Mereka merumpi, barangkali tengah melakukan arisan. Di ruang terpisah, dengan dinding dihias foto istri presiden, para menteri tengah melakukan rapat terbatas. Rapat yang membahas program pokok menteri itu tanpa dihadiri sang presiden. Di antara usulan-usulan para menteri ini,para “nyonyanyonya istana” terus melakukan bisikan-bisikan yang mengatur program-program para menteri.Para nyonya menyelipkan agenda sesuai dengan keinginan mereka, dengan dalih sebagai bagian dari 10 program pokok PKK. Adegan di mana kepemimpinan berlangsung secara in absentiadan kerap kali menampung usulan-usulan dari para istri menteri ini menandaskan betapa lemahnya seorang pemimpin sekaligus begitu mudahnya keputusan-keputusan penting negeri ini diambil.Dan itu semua dapat diatur oleh nyonya-nyonya istana. Bukankah para wanita pada dasarnya memiliki peran yang tak hanya seputar urusan rumah tangga?
Tak hanya saat ini, sejak zaman raja-raja, sering kali keputusan seorang raja muncul karena bisikan istri saat ada di tempat tidur.Lakon Nyonya-Nyonya Istana yang dipentaskan di Graha Bhakti Budaya,Taman Ismail Marzuki, Jakarta, 16-17 November 2012 barangkali mengambil gagasan dari sini. Para wanita ini kerap dianggap memiliki kekuatan yang menentukan setiap keputusan. Di dalam pergelaran ini banyak adegan yang menggambarkan bagaimana “keperkasaan” wanita dalam menentukan setiap keputusan. Sebuah kisah di mana presiden dan kabinet yang mengatur negeri ini pada kenyataannya seorang suami yang takut istri— menjadi bahan candaan yang mengocok perut penonton. Apakah ini sebuah realitas yang sebenarnya yang coba dihadirkan penulis naskah? Menurut penulisnya, Agus Noor,cerita ini merupakan satu sisi yang pada dasarnya para perempuan banyak menentukan setiap keputusan. “Dalam pergelaran ini ada adegan di mana keputusan-keputusan penting justru tidak dihasilkan dalam sebuah sidang kabinet,melainkan di dalam sebuah arisan para nyonya,” tutur Agus. Pertunjukan Nyonya-Nyonya Istana sengaja dikemas dengan satir yang menohok dan mengocok perut. Deretan pelawak Yogyakarta seperti Trio GAM (Gareng Rakasiwi, Joned, Wisben), Marwoto, Susilo Nugroho, Cak Lontong, Yu Ningsih dan Butet Kartaredjasa membuat pertunjukan yang digelar hampir tiga jam penuh dengan humor. Dari berbagai sisi, satir tentang pemimpin negeri ini coba dibawakan dengan gaya khas Butet Kartaredjasa.Ada adegan Butet melakukan monolog yang penuh sindiran, atau adegan masa-masa pemerintahan akan habis, presiden menyiapkan anak atau bahkan istrinya untuk menjadi penerus kepemimpinannya, disajikan dengan satir yang kental. Tidak hanya dari sisi cerita, kali ini pertunjukan Indonesia Kita juga dikemas lebih merakyat dengan hadirnya musik yang lebih membumi. Musik dangdut menjadi pengiring pertunjukan untuk menambah sensasi bagi penonton yang menyaksikannya. Sebelum Nyonya-Nyonya Kondang ini pergelaran Indonesia Kita sudah mementaskan Jogja Broadway(26-27 Mei), lalu Kabayan Jadi Presiden (13- 15 Juli), disusul Maling Kondang( 12-13 Oktober).
Sumber : seputar-indonesia.com