Azan magrib baru saja menjelang di Kota Medan. Sri Purwati alias Butet berjalan tersuruk-suruk, lalu melompati pagar sebuah rumah yang baru ditempatinya enam bulan di Kelurahan Kampung Baru, Medan, itu. Sri menenteng sebuah plastik kresek berisi baju yang baru kering dari jemuran di belakang rumah dan berjalan mengendap-endap menuju sebuah musala tak jauh dari rumah itu.
"Sri datang ke musala dan ketemu Pak Imam," kata Kepala Lingkungan Kelurahan Kampung Baru, Muhamad Fahmi. "Dia mengaku melarikan diri berkat bantuan dari calon menantu majikannya," kata Fahmi saat ditemui pada Selasa 13 Maret 2012.
Sang calon menantu itulah yang membuat Sri menguatkan tekadnya hendak pergi dari rumah MR, orang yang telah menjadi tuannya selama 25 tahun. Sang calon menantu memberinya uang Rp50 ribu dan menyuruhnya pergi begitu MR berada di lantai 3 rumahnya.
Imam, penjaga musala, langsung mengantar Sri ke polisi pada 8 Februari 2012, pukul 22.00 itu. Dan kisah sedih bak perbudakan yang dialami Sri sejak ikut keluarga MR di usia 9 tahun pun terbongkar.
Merantau dari Jawa
Saat bertemu polisi, identitas Sri sangat kabur. Untunglah, sekeping ingatan Sri saat pernah sekolah di sebuah sekolah dasar negeri di Medan membantu pencarian identitasnya. Sri terlahir di Desa Jumo, Kabupaten Temanggung, Jawa Tengah. Ayahnya bernama Juhari dan ibunya bernama Fatimah.
Sri mengingat pergi ke Sumatera Utara bersama ayah, ibu dan satu kakak laki-lakinya karena sebuah gunung di desa kelahirannya meletus. Mereka ikut program transmigrasi ke Sumatera Utara, namun lupa di mana daerah penempatannya.
Tak lama di daerah transmigrasi itu, ayahnya pamit pulang ke Jawa untuk menghadiri pesta perkawinan saudaranya. Kakak laki-lakinya dibawa serta. Itulah momen terakhir Sri melihat ayah dan kakaknya. "Ayah menghilang. Alasannya dulu saya masih ingat, bilang mau ke pesta saudara di Jawa," kata Sri.
Tinggallah Sri bersama ibunya di Sumatera Utara. Tak lama, di Kampung Ladang, Medan, ibunya menikah dengan seorang pria beranak empat yang Sri sendiri lupa namanya. Tiga bulan kemudian mereka bercerai.
Saat menetap di Kampung Ladang itulah, Sri tercatat di sebuah sekolah dasar negeri.
Karena kembali menjanda, ibunda Sri berjualan jagung bakar di Kampung Ladang. Saat berjualan jagung bakar ini, ibu Sri berkenalan dengan pria bernama Aeng yang berdagang di sebelah dagangan ibu Sri. Namun rupanya perkenalan tersebut merupakan awal perjalanan kelam berikutnya bagi Sri dan ibunya.
Aeng membawa Sri dan ibunya ke lokalisasi pelacuran 'Bukit Maraja' yang terletak di Kabupaten Simalungun. Sri masih fasih betul menyebutkan tempat tersebut.
"Kami dibawa ke pelacuran di Bukit Maraja, di situlah ibu diperkerjakan sebagai pelacur," kata Sri. "Saya masih ingat ketika ibu menerima tamu, saya harus diungsikan ke kamar sebelah," ujarnya.
Namun, menjadi pelacur juga tak membuat hidup Sri dan ibunya membaik secara ekonomi dan sosial. Sri malah sering melihat ibunya menangis.
"Aku tak bisa membayangkan ibu selalu menangis. Seingat aku, terakhir aku merasakan cinta dari ibu ketika aku memeluknya, dan di keesokan harinya saya tak bertemu lagi dengan ibu," kata Sri. "Ibu menghilang, sampai sekarang saya tak bertemu ibu."
Karena ibunya menghilang, Sri ditahan germo yang mengelola kompleks pelacuran itu, sebagai jaminan. "Akhirnya Aeng juga yang membawa saya keluar dari situ dan dipekerjakan menjadi pembantu rumah tangga oleh Aeng."
Setelah dua bulan di eksploitasi Aeng, menjelang usia 10 tahun, Sri akhirnya menjadi pekerja rumah tangga di rumah MR.
Diperkosa dan Dianiaya
Bekerja di rumah MR ini rupanya hanya melanjutkan episode kelam hidupnya. Sri tak pernah menerima gaji sampai 25 tahun kemudian melarikan diri. Di usia 10 tahun, dua kali keponakan MR memperkosanya.
Tindak kekerasan lainnya pun kerap dialaminya. Sri sering diperlakukan kasar seperti dicaci, bahkan dianiaya. Makan pun dijatah. Sehari-hari, ia tidak diperbolehkan berinteraksi dengan orang sekitar. Aksesnya untuk ke luar rumah ditutup oleh majikannya.
Sri sudah kerap putus asa dengan hidupnya. Berkali-kali Sri mencoba bunuh diri. "Aku pernah mau bunuh diri. Sudah sering. Yang terakhir, aku sempat memotong nadiku, tapi aku masih bisa selamat," ujarnya sambil menunjukkan bekas sayatan pisau di lengannya.
Sebelum melarikan diri dari rumah majikannya, Sri dipukul oleh MR sehingga menyebabkan memar di bagian wajahnya. "Aku dipukul, makanya aku putuskan melarikan diri malam itu juga, dan melapor ke polisi," ujarnya.
Rina Sitompul, pendamping Sri Purwati, menyatakan MR telah melakukan tindakan kekerasan dan perbudakan. "Perlakuan ini jelas melanggar hak asasi manusia, karena perlakuan yang sangat kejam ini tidak berperikemanusian. Hak Sri untuk tumbuh dan berkembang sejak ia kecil sudah dirampas oleh majikannya, bahkan ketika dia dewasa hak dia sebagai pekerja tidak diberikan. Kejam," ujar Rina.
Dia menambahkan, seumpama UU Perlindungan Anak berlaku surut, maka majikan Sri Purwati juga bisa dijerat dengan UU tersebut. "Kami meminta agar pihak kepolisian tidak kecolongan untuk mengenakan pasal berlapis kepada majikannya, karena selain KUHP iya juga dikenakan Undang-undang Kekerasan Dalam Rumah Tangga karena ada tiga bentuk kekerasan yang dilakukannya: kekerasan fisik, psikis dan kekerasan dalam bentuk ekonomi yang dialami Sri selama 25 tahun ini," kata Rina.
Sementara MR menghilang dari rumahnya. Sejumlah wartawan yang menunggui rumahnya tak bisa menemui anggota keluarganya yang lain.
Kepada VIVAnews, Kepala Kampung Ladang Muhamad Fahmi menyebut, MR baru enam bulan pindah ke rumah ini. Sebelumnya MR diketahui tinggal di Kecamatan Medan Polonia, kawasan lain di Medan. "Dia kurang lebih baru 6 bulan di sini. Sampai saat ini dia belum pernah melapor ke sini sejak kepindahannya. Dia jarang bersosialisasi dengan sekitarnya," kata Fahmi. (umi)
• VIVAnews